Dalam praktik perpajakan, banyak Wajib Pajak yang menghadapi keterlambatan atau kekeliruan dalam pemenuhan kewajiban pajak, mulai dari pengeluaran faktur yang tertunda, pelaporan yang tidak tepat waktu, hingga tekanan arus kas (cash flow) yang signifikan. Untuk memberikan alternatif penyelesaian, Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) melalui Pasal 36 ayat (1) membuka kesempatan bagi Wajib Pajak untuk mengajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi apabila sanksi tersebut tidak timbul karena kesalahan Wajib Pajak sendiri, atau karena benar-benar mengalami kesulitan keuangan yang mengancam kelangsungan usaha.
Namun, dalam praktiknya, pelaksanaan ketentuan ini kerap diwarnai perbedaan tafsir antara Wajib Pajak dan otoritas pajak terutama mengenai batasan “kesulitan keuangan” dan status “pelunasan sanksi”.
Salah satu putusan yang menarik untuk dikaji adalah perkara antara PT TVS sebagai Penggugat melawan DJP sebagai Tergugat. Sengketa ini bermula ketika Wajib Pajak mengajukan permohonan kedua penghapusan sanksi atas SKPKB PPN Masa Pajak Februari 2013, dengan alasan perusahaan mengalami kerugian operasional dan kesulitan arus kas. Selain itu, Wajib Pajak menilai pelunasan sanksi yang tercatat bukan dilakukan secara sukarela, melainkan melalui pemindahbukuan (PBK) atas kelebihan pembayaran pajak PPN oleh fiskus. Dengan demikian, menurut Penggugat, kondisi tersebut seharusnya tetap memenuhi kriteria “mengalami kesulitan keuangan” sebagaimana dimaksud dalam peraturan pelaksananya.
Di sisi lain, DJP menolak permohonan tersebut dengan alasan bahwa, berdasarkan data internal, SKPKB dan sanksi administrasi telah dilunasi sepenuhnya, sehingga syarat bahwa sanksi belum dibayar sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 12 ayat (2) huruf a PMK 8/PMK.03/2013 tidak terpenuhi. Selain itu, laporan keuangan menunjukkan likuiditas perusahaan masih kuat, dengan kas sebesar Rp 39,6 miliar serta dukungan modal dari induk usaha di India. DJP menilai kondisi tersebut tidak mencerminkan kesulitan keuangan yang mempengaruhi kelangsungan usaha. Lebih lanjut, otoritas pajak menegaskan bahwa sanksi administrasi timbul karena kelalaian Wajib Pajak sendiri dalam kewajiban pembuatan faktur pajak dan pelaporan, bukan karena kesalahan fiskus.
Setelah menimbang seluruh bukti dan argumen, Majelis Hakim Pengadilan Pajak menyatakan bahwa secara formal, gugatan Penggugat memang memenuhi syarat yurisdiksi dan prosedur. Namun secara materiil, karena sanksi telah dibayar termasuk melalui pemindahbukuan maka syarat belum dibayar tidak terpenuhi. Di samping itu, kondisi keuangan perusahaan masih tergolong sehat dengan dukungan finansial yang cukup, sehingga unsur “kesulitan keuangan yang mengancam kelangsungan usaha” juga tidak terbukti. Berdasarkan hal tersebut, Majelis Hakim menolak seluruh gugatan Penggugat dan menguatkan keputusan DJP.
Putusan ini menegaskan bahwa pemenuhan aspek formal dan pembuktian objektif menjadi faktor penentu dalam setiap permohonan penghapusan sanksi administrasi. Bagi Wajib Pajak, pelajaran pentingnya adalah bahwa setiap pelunasan baik melalui pembayaran maupun pemindahbukuan menggugurkan hak pengajuan, dan klaim “kesulitan keuangan” harus didukung bukti nyata, bukan hanya laporan rugi usaha.
Analisa Komprehensif dan Putusan Pengadilan Pajak atas Sengketa Ini Tersedia di sini.